KIARA
Cerpen Setiawan Chogah
Aku masih menatap panjang pada bulan sekeping di langit sana. Perasaanku semakin tak menentu. Gundah, gulana, dan rindu menjadi satu rasa yang tak dapat kuungkapkan. Huf, rinduku semakin tak kuasa aku bendung. Bayangan kampung yang telah kutinggalkan setahun lamanya itu selalu saja menari-nari dari tadi. Belum lagi suara amak yang mendayu-dayu seakan menusuk jantung hatiku. Ah, biarlah sebentar lagi rindu ini akan segera tertuntaskan.
Malam semakin tua. Namun kedua mataku tak mau terpejam dari tadi. Entah mengapa rasa rinduku semakin membiru, mewarnai setiap sudut hatiku. Memoriku kembali berputar. Mengenang semua kenangan masa kecilku di Kampuang Tangah, tanah kelahiranku yang begitu aku sayangi. Aku masih ingat, betapa dulu amak amat memanjakanku. Sedikit pun aku tak dibiarkan bermain jauh-jauh dari pekarangan rumah kami. Paling-paling aku hanya dibolehkan bermain dengan Kiara. Anak Etek[1] Fatimah yang tinggal di Tanjuang Pauah. Sekitar empat atau lima rumah dari Kampuang Tangah. Aku dan Kiara paling suka bermain tenjek-tenjek. Sering kali aku membuatnya menangis karena setiap bermain aku selalu menang. Kalau sudah begitu, Kiara tidak akan mau bermain denganku barang sehari dua hari. Dan kalau hari Minggu tiba, banyak sekali anak-anak yang main ke rumahku. Tak terkecuali Kiara. Biasanyanya kami bermain mancik-mancik sampai sore. Hmm, semuanya begitu manis jika aku kenang.
Aku lirik jam beker berbentuk gitar pemberian Kiara di meja belajarku. Sudah jam setengah satu. Ah, lebih baik aku tidur dulu. Sebab, besok aku harus bangun pagi-pagi sekali. Semua keperluan selama pulang kampung telah aku siapkan semenjak tadi siang.
***
Pagi yang indah. Bulir-bulir embun yang sedari tadi malam bergelantungan di ujung daun dan rerumputan mulai mencair. Sebelum benar-benar jatuh dan menyusup lenyap melalui pori-pori tanah, sang embun masih sempat menciptakan secercah senyum di bibirku. Bagiamana tidak, bulir-bulir itu menyisakan kilauan bak permata saat sinar mentari menerpanya.
“Nar, aku berangkat dulu, yah”
Bonar menatapku sejenak. Berhenti dari kesibukannya menyemir sepatu kulit yang selalu dibangga-banggakannya padaku.
“Oh ya, tapi kau jangan lupa bawa oleh-olehnya. Kau bawalah rendang Padang itu buatku.”
Aku hanya tersenyum mendengar logat Bataknya si Bonar. Teman satu kost-ku di kota baja ini. Sebenarnya nama temanku itu Dimas Nababan. Tapi semenjak film Nagabonar kembali diputar, aku dan kawan-kawanku yang lain lebih senang memanggilnya si Bonar. Tidak ada alasan yang kuat mengapa gelar itu bisa dia dapatkan selain Dimas sama-sama berasal dari Tanah Batak.
“Kau kapan jadi berangkatnya?” tanyaku.
“Kau tenang sajalah! Aku pun akan terbang ke Sumatera kira-kira seminggu lagi.”
“Okelah, kalau begitu aku duluan. Tapi aku sarankan kau pun harus cepat-cepat pulang. Si Butet kau itu sudah rindu berat rupanya,” aku menirukan logat Batak ala Padang.
“Bodat kau!”
“Hahahaaa” aku hanya tertawa melihat si Bonar jengkel.
Oto[2] Sitangkai warna biru muda membelah jalanan aspal kota Bukittinggi. Ranah Minang masih seperti dulu. Sepanjang perjalanan ke Aur Kuning masih kulihat hamparan sawah yang menghijau dipagari Gunung Marapi dan Singgalang yang begitu gagah. Aku telah sampai di Terminal Aur Kuning. Dari sana aku harus kembali menumpangi oto ketek ke Kampuang Tangah.
“Biaro. Biarooo.” Teriakan kenek oto terdengar bersahut-sahutan menawarkan tumpangannya. Seakan tak mengenal lelah, yang penting hari ini mereka dapat membawa sedikit uang untuk makan anak istri mereka. Tak sedikit pula diantara mereka yang masih anyir. Bocah-bocah yang seharusnya berada di gedung-gedung sekolahan mendengarkan guru mereka berceramah. Memberikan ilmu yang tentunya amat mereka butuhkan. Sungguh, pemandangan yang membuat hatiku miris. Begitu pun terminal ini menyimpan banyak kenangan yang tak akan pernah bisa aku lupakan begitu saja. Termasuk dengan Kiara, saat melepas keberangkatanku ke tanah Jawa satu tahun yang lalu. Saat-saat perpisahan SMA dan aku titipkan sekeping hatiku pada Kiara.
“Satu permohonanku Da, bila Uda pulang ke Ranah Minang jangan lupa singgah ke rumah!” kata-kata itu mengalir berat dari bibir Kiara yang bak asam seulas. Dia tak berani menatapku. Wajahnya tertunduk. Mungkin Kiara masih belum rela melepas kepergianku yang tak jelas entah kapan akan kembali. Saat itu aku berada dalam dua pilihan yang tak dapat aku putuskan dengan begitu mudah. Namun, cita-cita dan mimpi yang telah membulatkan keputusanku untuk melanjutkan kuliah di pulau Jawa. Pulau yang punya sejuta pesona dan daya tarik.
Siang itu, hari terakhirku melihat wajah Kiara, dan tanpa ada batas waktu yang jelas untuk kembali bertemu. Bandara Internasional Minangkabau seakan seakan menjadi saksi bisu, terpaku dan ikut haru di hari perpisahan ku dengan gadis Minang nan jelita itu.
Rambut Kiara yang ibarat mayang terurai mendadaiku. Melambai-lambai dan akhirnya benar-benar lenyap dari pandangan.
Ah, tapi itu dulu. Sekarang aku telah kembali menginjak aspal geram Bukitinggi. Terminal yang menjadi saksi janjiku pada Kiara, gadis desa yang yang membuat hidupku jadi lebih berarti.
Aku telah sampai di Kampuang Tangah. Amak yang begitu aku rindukan menyambut dari atas Rumah Gadang. Seulas senyum di wajah tua amak sungguh damai kulihat. Sekejap saja tubuh ringkih itu telah berada di pelukanku. Aku menangis sepuasnya, melepas haru dan rindu yang selama ini teramat menyiksaku. Hanya sebentar saja aku melepas rindu di Rumah Gadang peninggalan ayah. Geloraku akan keelokan alam Kampuang Tangah masih belum tuntas sepenuhnya.
“Istirahatlah dulu Zal, kau tentu sangat letih!”
“Tidak usah mak, aku mau ke rumah Etek Fatimah dulu” jawabku.
Sejurus amak menatap ke arahku. Air matanya agak lain setelah aku menyebut rumah Etek Fatimah. Apakah amak melarangku kesana? Ataukah sekarang amak tak lagi setuju dengan hubunganku dengan Kiara? Aku menduga-duga.
“Tapi apa tak sebaiknya besok saja kau ke sana. Kau kan baru datang dari jauh Zal” Amak masih mengkawatirkan kalau-kalu aku letih. Padahal, keletiahanku telah sirna semenjak mendengar suara amak dari tadi. Apalagi kalau aku bertemu Kiara. Tentu akan semakin sempurna.
Amak hanya diam. Sepertinya dia tahu kalau aku sudah ingin sekali bertemu Kiara.
“Aku mau keluar dulu Mak, barang sebentar saja. Sudah lama aku tak menginjakkan kaki di pematang sawah, melihat Marapi dan Singgalang dari dangau-dangau. Dan aku juga mau menemui Kiara dulu” ucapku sambil beranjak menuruni anak tangga.
Surya bersinar pongah di kepalaku. Tapi aku suka itu. Seakan dia ikut menemaniku ke Tanjuang Pauah.
Rumah Gadang dengan pagar setinggi pinggang itu masih asri kulihat. Dua batang pohon rambutan masih berdiri kokoh. Apalagi saat ini keduanya tengah berbunga lebat. Membuat kesan asri itu semakin terasa. Bungo Rayo dan bunga aster di taman depan anak tangga yang berjejer itu tak seperti biasanya kulihat. Kali ini daun-daunnya tidak selebat dan sehijau dulu. Mungkin gara-gara musim panas. Pikirku.
“Assalamualaikum” seruku seraya mengetuk pintu Rumah Gadang. Perlahan kudengar derap langkah pelan dari dalam.
“Eh. Kau rupanya Zal. Kapan kau datang dari Jawa?” Etek Fatimah yang membukakan pintu buatku sambil bertanya.
“Tadi pagi, Tek,” jawabku.
“Masuklah kau dulu” Etek Fatimah kembali menyilahkanku masuk.
“Kiara ada, Tek?” kubuka pembicaraan tentang maksud kedatanganku.
Etek Fatimah tak menjawab pertanyaanku. Dia melangkah ke dapur dan selang sesaat datang dengan secangkir teh hangat.
“Minumlah dulu, Zal”
“Tarimo kasiah, Tek”
Aku menyeruput teh hangat dari cangkirnya. Dahagaku sedikit terobati. Walau di luar tadi aku bertempur dengan surya yang bersinar pongah. Namun, setidaknya, teh hangat ini telah membasahi keronggonganku yang kerontang.
“Kau benar ingin bertemu Kiara, Zal?” Etek Fatimah kembali bertanya tanpa menjawab pertanyaanku tentang Kiara. Tapi, aku merasa pertanyaan Etek Fatimah agak aneh. Ada apa dengan Kiara. Teman masa kecilku. Teman yang berjanji akan menunggu kepulanganku dari tanah Jawa.
Tiba-tiba Etek Fatimah terisak. Aku benar-benar dibuat tidak mengerti. Pasti sesuatu telah terjadi dengan Kiara. Apakah dia pergi ke Malaysia seperti yang dicetitakannya dulu padaku. Ataukah dia telah menikah dengan Datuak Marajo yang sudah kepala empat itu? Tapi mengapa Kiara tidak mengabariku. Setega itukah dia padaku? Tidak! Aku menepis semua prasangka burukku tentang Kiara.
Etek Fatimah beranjak ke luar. Dia masih tersedu. Aku mengikutinya tanpa mau bertanya apa-apa lagi. Aku terus mengikutinya samping rumah melewati Rangkiang[3] itu hanya lahan kosong di tumpuhi duri sikajuik[4].
Langakahku terhenti tepat di depan gundukan tanah merah. Sebelum semua pertanyaan terjawab. Tangisku pecah melihat Etek Fatimah yang bersimpuh dengan mata masih berlinang. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini. Bukan!!!, Itu bukan Kiara. Namun pemberontakanku sia-sia. Kiara Mutia Dewi. Itu nama Kiaraku. Ya! Nama yang tertera di batu nisan itu nama gadis tempat aku menitipkan sekeping hatiku.
Kiara meninggal? Aku masih belum percaya.
“Apa yang terjadi dengan Kiara, Tek?” suaraku berat menanyai Etek Fatimah. Wanita paruh baya itu tak langsung menjawab pertanyaanku. Sejurus, ekor mataku menangkapnya dalam pandangan nanar. Ada bitir-bitir kristal berlompatan dari kelopak matanya. Ah! Aku galau luar biasa, aku merasa bersalah dengan kedatanganku. Tapi salah jugakah bila aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Kiara? Aku rasa tidak!
Kembali kutatap tanah merah dihadapanku. Ngilu!
“Kiara menderita kanker Serpiks, Zal”
“Kanker?” aku mengulang kata yang diucapkan Etek Fatimah.
“Ya, penyakit itu sudah lama menyerang Kiara, semenjak kalian SMA dulu” Etek Fatimah tak menatapku. Cerita tentang Kiara mengalir dari mulutnya. Tentang Kiara yang akhirnya harus takluk pada penyakitnya, tentang kiara yang tak henti tersenyum menjelang detik-detik kepergiannya.
“Tapi mengapa tidak ada yang mengabariku tentang Kiara, Tek?” aku mengutarakan satu pertanyaan yang membuatku merasa amat kecewa. Aku merasa tak dihargai, merasa tak dianggap. Itu yang membuat suaraku tersa berat.
Etek Fatimah beranjak dari duduknya ke sebelahku. Isak dan nafasnya tak beraturan begitu jelas menabuh gendang telingaku. Dia masih dikuasai perasaan sedih dan sesekali tersedu.
“Kiara menitipkan ini untukmu, Zal” Etek Fatimah memberikan sesuatu padaku. Sebuah surat! Kubuka surat bersampul hijau muda itu. Beberapa bait goresan tangan Kiara menyambutku. Tanpa aku sadari, bibirku mengulas sedikit senyum. Tulisan Kiara mengingatkan masa-masa indah kami dulu. Tulisan yang hampir tiap hari kunikmati. Sebab, Kiara sering kali meminjamkan catatannya padaku.
Uda Rizal yang begitu aku cintai,
Ketika uda membaca surat ini, mungkin aku sudah tidak dapat melihat senyummu lagi. Mungkin juga aku tidak lagi dapat menyambut kedatanganmu dengan segelas teh hangat, atau menerima oleh-oleh dari Tanah Jawa seperti janjimu dulu.
Maafkan aku, Da. Tak ada maksud untuk mengingkari janjiku untuk menantimu di Aur Kuning. Tapi penyakit ini, Da. Penyakit ini semakin hari semakin melumpuhkan tenangaku. Mengubur harapanku untuk dapat melihatmu kembali.
Namun, dalam relung hati terdalam, aku bahagia, Da. Aku bahagia pernah memilikimu sebagai pemberian Tuhan paling indah. Namun, apa dayaku. Kau maupun aku hanyalah titipan. Bersama surat ini juga, aku kembalikan sekeping hati yang dulu kau titipkan padaku. Aku ikhlas kepada siapa pun hati ini akan kau berikan, Da. Oya, sebelum terlambat aku ingin mengucapkan selamat atas wisudamu. Kapanpun itu terjadi. Aku hanya tidak ingin menyesal karena terlambat mengucapkan kata selamat untuk hari paling bahagiamu itu.
Sebelum aku benar-benar tidak sanggup lagi, Da. Aku ingin berterima kasih padamu. Terima kasih untuk semuanya. Terima kasih untuk kepercayaanmu menitipkan sekeping hatimu padaku.
Satu yang aku yakini dan aku amat berharap itu pasti terjadi. Esok atau lusa, aku ingin kembali menemuimu. Menepati janjiku padamu, Da. Janji untuk setia menanti kedatanganyamu. Sampai kapanpun.
Dengan berlinang air mata, kusudahi surat ini. Dan percayalah, aku amat mencintaimu.
Dari yang mencintaimu sepenuh hati,
Kiara Mutia Dewi
Kertas hijau muda masih erat di genggamanku. Namun, pikiranku melanglangbuana menembus secarik kertas itu. Bayangan Kiara, senyum teduh Kiara kembali muncul. Aku belum mau beranjak. Aku masih ingin bercerita banyak dengan Kiara. Aku masih terpaku di bawah sinar jingga langit pusara. Pusara yang yang telah menagambil Kiara dariku. Pusara yang telah mengubur cintaku (*)
Serang, 2008
1 komentar:
thank you to let it full.....
Posting Komentar