22 Sep 2011

0 Bukan Perawan (Radar Banten)

Ilustrasi Radar Banten
 BUKAN PERAWAN
Cerpen Setiawan Chogah

Kota Serang dalam selimut remang-remang. Sendiri, aku masih termenung sepi di sudut malam. Kulirik jam tangan pemberian Ardi di ulang tahunku yang ke dua puluh kemaren. Pukul 00.21. Itu bearti sudah  hampir  lima jam aku di sini, menanti seseorang yang tak kunjung datang. Arg! Jangan-jangan dia benar-benar sudah tak cinta lagi padaku.

Kuhirup nafas lebih dalam, satu liter, dua liter udara serasa memenuhi paru-paruku. Lalu kuhembuskan kuat-kuat ke udara lepas. Berharap kegundahanku bisa ikut terbuang, namun ternyata sia-sia. Gelisahku makin lama makin merebak. Seragam putih-putih yang aku kenakkan dibelai angin malam. Mengoyak aroma yang sangat tidak aku suka. Aroma kematian. Tak mau lagi aku sia-sia menunggu Ardi yang tak kunjung datang, aku beranjak dari taman yang hanya dibatasi pagar tembok dengan jalan raya. Lalu-lalang kendaraan mulai sepi. Kota Serang akhirnya benar-benar tidur pulas.

           Ardi. Laki-laki itu telah mencuri separuh tempat di pulau kecil di jantungku. Sebenarnya sudah kulakukan protes setiap kali Ardi merebut pulau itu dariku, namun setiap kali itu juga aku gagal. Aku semakin tak kuasa membendung hasrat bila tangan-tangan kokoh Ardi membelaiku yang pada akhirnya membuat aku terperangkap dalam cinta yang aku sendiri tak sanggup untuk mengungkapkannya.

           Sepasang mata Ardi telah membakarku hingga lemas tak berdaya, bahkan sampai kedua bola mataku kerontang sampai buta. Aku tak lagi mampu melihat jurang pemisah yang begitu dalam memisahkan aku dan Ardi. Cinta kami tak mungkin pernah bisa disatukan. Ah… Andai saja jurang itu tidak pernah ada, tentu aku sudah hidup bahagia dengan Ardi. Laki-laki pujaan hatiku.

          Begitulah Ardi. Sosok laki-laki itu kembali mengusik jiwaku malam ini. Puas mengumpulkan puing-puing kisah tentang Ardi, lagi-lagi aku hanya bisa menarik nafas. Sudah bisa kupastikan, Ardi juga tak akan datang malam ini untuk menemuiku.

          Aku lempar pandangan setinggi mungkin. Di langit hanya ada bulan yang bergelantungan sendirian. Dia pasti amat sepi, sesepi hatiku malam ini.

         Sebenarnya tak ada yang salah dengan aku mencintai Ardi. Toh Ardi juga terang-terangan mencintai aku. Kita sama-sama cinta.
“Aku sungguh mencintaimu, Ri,” begitu kata Ardi padaku.
“Aku juga Ardi. Sampai kapanpun cinta Ardi-Sari tak akan terpisahkan oleh apapun.”

                Sari! Itu adalah namaku. Nama yang sangat manis bukan? Tapi sekali pun nama yang sangat aku sesalkan mengapa papa dan mamaku memberikan aku nama semanis itu. Jadi aku tidak semanis namaku? Tentu! Kenyataannya aku justru bertolak belakang dengan namaku. Aku sangat gagah, macho, dan tampan. Kenapa bisa begitu? Tentu saja bisa. Karena aku adalah laki-laki. Oh Tuhan, mengapa ku harus menjadi seorang laki-laki?
Sebenarnya namaku tidaklah semanis yang kugambarkan seperti sebelumnya itu. Amir Sarifudin. Nama yang sangat maskulin kupikir. Tapi apalah dayaku, aku kini terjebak dalam ikatan terlarang.

                                                                                      ***
           Hari ini genap satu bulan aku menjalin cinta dengan Ardi. Ah, aku begitu mencintainya dengan segenap jiwa ragaku. Cintaku pada Ardi melebihi cinta pada siapapun? Bahkan cintaku pada Zakia, cinta pertamaku. Zakia! Nama itulah penyebab semua ini. Perempuan itu yang membuat aku terseret dalam arus panjang kehidupan yang sebenarnya bertentangan dengan naluriku. Namun, sakit hatiku pada Zakia yang tak setia membuat aku tak lagi pernah peduli pada kodrat yang seharusnya tak layak aku permainkan. Zakia yang menghianatiku, dia memilih menikah dengan Bondan. Kawan satu smaku dulu yang kini sudah menjadi juragan besar. Bandar emas yang mengusai hampir separuh pasar emas di Rau Trade Center, pusat perbelanjaan di kota Serang itu. Agr! Persetan dengan Zakia dan suaminya. Aku sudah tidak peduli. Bagiku kini Ardi adalah satu-satunya orang yang layak untuk aku pikirkan.

            Dia hanya laki-laki biasa. Bahkan menurutku terlalu biasa untuk aku cintai hingga sedalam ini. Aku tidak menyadari bagaimana prosesnya sampai aku begitu mengagumi sosok Ardi yang tiba-tiba sangat istimewa di mataku. Memang, sebagai sama-sama mahasiswa membuat kami sering berdiskusi cukup panjang mengenai pelajaran, laporan praktikum bahkan sampai pada masalah tugas akhir. Ardi satu angkatan di atasku. Tepatnya senior. Kedewasaan dan keramahan Ardi yang membuat aku hanyut dalam arus terlarang ini. Awalnya kami memang hanya bercerita seputar masalah perkuliahan. Tapi lama-lama aku suka memperhatian gaya bicaranya yang begitu kharismatik, gaya sisiran rambutnya yang sederhana, sampai senyumnya yang sangat menggoda. Aku sering bertandang ke kost_anya dengan alasan meminta mengajariku tentang tugas kuliah yang aku anggap sulit dan Ardi bisa membantuku, dan aku merasa gelisah bila sehari saja tak melihat Ardi hadir di kampus.

           Hari-hari berlalu, bulan berganti bulan. Kami sering makan bersama di kantin, nonton di bioskop atau sekedar membahas lagu-lagu yang menjadi favorit kami berdua. Ardi menyeruak lembut ke dalam hariku. Mencuri pulau kosong yang dulu aku siapkan untuk tempat tinggalku bersama Zakia dan anak-anak kami. Kelembutanyanya membuat benih-benih cinta tumbuh subur di lahan kosong yang telah ditinggalkan Zakia itu. Kini benih mulai bertunas dan memberikan bunga yang mekar dan harum semerbak. Kedewasaannya memberikan rasa hangat dan nyaman. Rasa yang membuat aku tak lagi merasa gagah dan tampan. Aku jadi lebih mengedepankan intuisi, aku jadi ingin diperhatikan, aku jadi bukan diriku lagi.

                                                                                ***
            Aku menjadi seperti magma yang siap dimuntahkan dari perut bumi. Menghanguskan apa saja yang bisa aku lewati, kekagumanku pada sosok Ardi benar-benar membuat aku telah kehilangan jati diriku sebagai laki-laki. Bagai lidah api, aku mengahanguskan setiap ada yang mencoba menghalangiku mendapatkan cinta Ardi seutuhnya. Pengetahuanku soal agama dan dosa seakan ikut gosong dan hilang tak berbekas di tiup angin. Aku mau melakukan apa saja asalkan bisa bersamanya. Aku ingin menjadi kekasihnya. Kau ingin hari-hariku selalu berdua dengan Ardi. Aku ingin setiap bangun padi Ardi ada di sampingku dan memberikan kecupan hangat di keningku. Aku gila! Benar-benar gila.
Hingga pada satu sudut malam aku harus bertekuk lutut pada cinta Ardi. Saat aku terlempar dalam jurang yang terlalu dalam untuk kembali merambat naik kepermukaan. Hubunganku dan Ardi sudah terlalu jauh. Tapi malam itu Ardi benar-benar membuatku terpuruk.
“Kita harus mengakhiri semua ini, Mir.” Dia menyebutku Amir, bukan lagi Sari.
“Kenapa Di? Bukankah kita sudah saling menikmati hubungan ini?” aku bersuara dalam pertanyaanku.
Ardi tak pernah menjawab. Setiap kali kutanya alasan Ardi mengutarakan kata “sudah” hanya kebisuan yang aku dapatkan. Kau selalu bertanya-tanya. Hingga akhirnya aku lagi-lagi terjatuh dalam kenyataan pahit yang sebelumnya tak pernah terbersit dalam pikiranku.

           Ardi akan menikah!

           Aku sungguh remuk mengetahui kenyataan yang kini benar-benar nyata. Aneh! Aneh tapi nyata. Bagaimana mungkin Ardi yang dulu terang-terangan mencintaiku mengambil keputusan yang membuat aku terluka untuk kedua kalinya.

            Aku tak mengerti jalan pikirannya. Akhirnya aku tahu kalau Ardi ternyata telah dijodohkan orang tuanya dengan gadis pilihan mereka. Ingin aku berteriak sampai pita suaraku tercapik. Ingin aku membunuh Ardi agar tak satu pun bisa memilikinya. Namun rasa cintaku yang teramat dalam membuat aku tak mampu melakukan apa-apa.
“Aku mencintaimu, namun aku tak mungkin bisa menikahimu.”
“Kenapa?”
“Karena kita sama.”
“Kita sama-sama laki-laki? Itu maksudmu?”

           Andai saja aku seorang perempuan, andai saja Zakia tak pernah bermain-main dengan cintaku, andai saja aku menyadari kalau aku sangatnya gagah, andai saja… Andai saja…
Aku didera kata “andai saja”. Aku mengulas senyum kecut. Mencoba terbahak menertawan kebodohanku sendiri. Aku benar-benar bodoh untuk ukuran sebagai seorang laki-laki, tak hanya itu. Ternyata kini aku begitu hina untuk ukuran sebagai seorang manusia.

                                                                             ***

              Sinar matahari pagi menyeruak dari balik tirai kamar tempatku dirawat. Lalu mataku menangkap sekelebat bayangan berseragam putih. Seorang suster masuk dengan segelas susu dan sepotong roti.
“Sudah bangun, Pak?” dia tersenyum padaku.
“Silahkan diminum susunya, mumpung masih hangat!” sekali lagi dia mengulas senyum. Ah, senyum itu dulu yang juga pernah diberikan Zakia dan Ardi padaku. Senyum yang kelihatanya manis namun ternyata mengandung racun mematikan.

              Namun pagi ini aku ingin tersenyum manis. Aku sudah sangat bosan dengan ruangan serba putih yang memenjaraku beberapa hari ini. Aku ingin berkeliaran bebas melepas semua benci dan penatku.
“Hari ini anda sudah boleh pulang, tapi seminggu sekali harus tetap Check Up ya. Dan obatnya jangan lupa diminum.”
“Terima kasih Dok.”

                Akhirnya hari kebebasanku datang. Setidaknya aku bebas dari kejenuhan yang beberapa hari ini benar-benar telah mengendap dalam jiwaku. Sedimentasi antara kebencian, putus asa, dan kekecawaan yang akhirnya membatu.

             Penghujung Desember, 00.19
              Aku masih belum berniat meninggalkan sudut kota Serang. Taman Ciceri masih terang dibaluti pesta kembang api, beberapa kendaraan silih berganti berhenti lalu melaju kencang setelah lampu merah di perempatan gedung Carrefour itu membelalak dengan sinar hijau. Aku melangkah gontai meninggalkan ciceri menuju ke arah utara, melewati toko mie ayam Hawaii, aku terus melangkah ke arah Cijawa menembus gerimis yang mulai jatuh satu-satu. Aku biarkan sapatuku basah, rambutku, kemejaku, dan sekujur tubuhku. Aku tidak tahu, basahku karena gerimis ataukah karena air mata.

            Sudah kupastikan Ardi tak kan pernah datang sekedar mengucapkan kata selamat tahun baru. Ku ikuti kemana kakiku melangkah, terus menyusuri jalan Fatah Hasan yang berujung di tugu Bunderan. Ada beberapa orang pedangan cireng yang mangkal di sana. Kugigit bibirku kuat-kuat. Ngilu, ngilu yang bertebaran bersamaan dengan tubuhku yang bergetar makin hebat karena dingin.

             Ponselku bergetar, sebuah SMS masuk. Dengan malas kuintip layar hapeku, SMS dari Ardi. “Happy New Year, semoga menjadi pribadi yang lebih baik. Aku yakin, kamu pasti bisa melupakan semua yang pernah terjadi antara kita. Oya, minggu depan kamu datang ke acara 7 bulanan istriku ya. Wajib datang lho!”
Semoga menjadi pribadi yang lebih baik” kuulangi bait SMS itu perlahan-lahan. Hatiku bergetar. Ya Allah… masih adakah kesempatan untukmu menjadi lebih baik? Setelah virus HIV ini bersarang di tubuhku? Lagi-lagi kugigit bibirku, dua Kristal jatuh dari mataku dan mengalir membelah pipiku. Tubuhku kembali bergetar, bayang-bayang dosa tiba-tiba menyerangku dengan hebat. Aku kalut luar biasa. Ampuni Hamba Ya Allah, Hamba ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Suara itu mengalir begitu saja tanpa mampu aku tahan.Lalu aku berlutut, aku tak peduli ketika tubuhku sudah benar-benar basah. Sebab, aku merasakan kata “Ampun” memberikan rasa hangat yang menjalar sampai ke ubun-ubun (*)
                                                                                    Walantaka, Desember 2010- 1:36pm

Kaum Luth-pun telah mendustakan ancaman2 nabinya. Sesungguhnya Kami telah hembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluraga Luth, mereka kami selamatkan sebelum fajar menyingsing (QS 54:33-34)

About the Author

I'm Author description here. Go to Blogger edit html and find these sentences. Now replace these sentences with your own descriptions. Subscribe to Our Feed and Follow Me on Twitter My user

    Other Recommended Posts

  • Cerpen

0 komentar:

Posting Komentar

 
back to top